Sabtu, 15 Desember 2012

Hakikat Bahasa

HAKIKAT BAHASA A. Pengertian Bahasa Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata lingua (bahasa Latin) yang berarti bahasa. Kata lingua itu masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa tertentu yang menyerap bahasa Latin, seperti: dalam bahasa Prancis digunakan kata langue dan langage; dalam bahasa Spanyol digunakan kata langua; dalam bahasa Itali digunakan kata lingua. Selain itu, dalam bahasa Inggris, yang dipinjam dalam bahasa Prancis,yang sekarang digunakan kata language. Sesuai dengan asal bahasa Latin itu, maka linguistik yang berarti ilmu bahasa dikenal sebagai linguistics dalam bahasa Inggris dan sebagai linguistique dalam bahasa Prancis (Verhaar, 1982:1) Untuk mempelajari pengertian bahasa berdasarkan asal-usulnya, maka istilah tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini. Diagram: Asal-usul Istilah Linguistik B. Berbagai Defenisi Bahasa dan Ulasan Meskipun bahasa merupakan gejala alami dan tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia, artinya tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa, tetapi sulit sekali diberikan defenisinya. Hal itu tampak dari beragamnya defenisi tentang bahasa itu. Pada pemaparan berikut ini dikemukakan beberapa defenisi bahasa diambil dari berbagai sumber sebagai bahan kajian. 1. Bahasa adalah alat komunikasi antara masyarakat, berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984: 16). 2. Bahasa adalah alat yang sistematis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi-bunyi, gestur, atau tanda-tanda yang disepakati, yang mengandung makna yang dapat dipahami (Woster’s Third New International Dictionary of the English Language, 1961: 1270). 3. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berinteraksi, serta mengidentifikasi diri (Kridalaksana dan Kentjono, 1982: 2) 4. Bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbiter yang memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tertentu atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu untuk berkomunikasi atau berinteraksi (Finochiaro, 1964: 8) Kalau ditelaah lebih mendalam keempat defenisi di atas, tampaklah persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian bahasa. Perbedaan itu dapat dilihat dari sudut pandang para ahli berdasarkan eksistensi bahasa itu. Defenisi satu dan dua di suatu pihak berbeda dengan defenisi tiga dan empat sebagai pihak yang lain. Defenisi satu dan dua menitikberatkan pandangan pada fungsi bahasa itu sebagai alat komunikasi. Hal itu menunjukkan bahwa defenisi satu dan dua masih memiliki acuan yang luas, yaitu segala sesuatu (semua alat) yang dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan dan pesan, dianggaplah sebagai bahasa. Keluasan defenisi satu dan dua di atas tampak pula bahwa tanda yang dimaksud dalam bahasa bukan hanya tanda bahasa (linguistic sign), tetapi juga tanda-tanda lain, termasuk gestur. Keluasan lain dari defenisi satu dan dua di atas adalah semua bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, termasuk bunyi siul, batuk dan sebagainya ditafsirkan sebagai bunyi bahasa. Berbeda dengan defenisi satu dan dua, defenisi tiga dan empat menitikberatkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa (karakteristik bahasa). Beberapa hal yang menarik untuk disimpulkan sebagai unsur persamaan pada defenisi tiga dan empat di atas, adalah ; a) Bahasa merupakan suatu sistem; b) Sebagai sistem bahasa bersifat arbitrer; c) Sebagai sistem arbitrer, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi, baik dengan orang lain maupun diri sendiri. Sebagai sistem, bahasa memiliki komponen-komponen yang tersusun secara hierarkis. Komponen itu meliputi komponen fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, dan sematik. Walaupun setiap komponen itu memiliki sistemnya sendiri, tetapi setiap komponen tersebut dapat pula saling memberi arti, saling berhubungan, dan saling menentukan. Berdasarkan kenyataan bahwa bahasa itu merupakan sesuatu yang bersistem, tetapi juga memiliki sifat arbitrer. Artinya, walaupun bahasa itu tersusun secara hierarkis, tetapi susunan itu dilakukan oleh masyarakat. Sifat hierarkir itu tampak dalam melambangkan seekor binatang yang berkaki empat, berbulu halus, dan meringkik, juga dipakai sebagai binatang pacuan. Binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi yang berbeda oleh setiap kelompok masyarakat pemakai bahasa, yaitu: bahasa Indonesia = /k-u-d-a/ bahasa Bugis = /n-a-r-a-n/ bahasa Makassar = /j-a-r-a-n/ bahasa Inggris = /h-o-r-s-e/ Walaupun bahasa itu bersifat arbitrer, tetapi tetap pada aturan atau sistem yang telah disepakati secara bersamaan dalam setiap kelompok masyarakat dan akhirnya, dipakai untuk berinteraksi. Defenisi tiga dan empat inilah yang akan dijadikan acuan dalam pembahasan ilmu bahasa (linguistik) selanjutnya. Berdasarkan uraian defenisi tiga dan empat di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbitrer dan konvensional yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk berinteraksi. Pengertian bahasa menurut beberapa ahli lainnya, 1. Owen dalam Setiawan (2006: 1), menjelaskan defenisi bahasa yaitu language can be defined as a sosially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan). 2. Tarigan (1989: 4), beliau memberikan dua defenisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer. 3. Santoso (1990: 1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar. 4. Mackey (1986: 12), bahasa adalah suatu bentuk dan suatu keadaan (language maybe form and not matter) atau suatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. 5. Wibowo (2001: 3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. 6. Walija (1996: 4), mengungkapkan defenisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat kepada orang lain. 7. Syamsuddin (1986: 2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. 8. Pengabean (1981: 5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. 9. Soejono (1983: 1), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama. C. Rumusan Defenisi Bahasa Setelah mengadakan diskusi dan dengan memperhatikan berbagai defenisi dari para ahli, kami dapat merumuskan pengertian bahasa. Bahasa merupakan alat komukasi yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain, sebagai alat komunikasi bahasa tentunya mempunyai fungsi-fungsi dan ragam-ragam tertentu. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Chaidar. 1987. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. Chaedar, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Carrol, John B. 1961. The Study of Language. London: Oxford University Press. Crystal, David. 1981. Linguistics. Harmonsworth: Penguin Books Ltd. Kaesng, Sjaruddin. 1982. “Pengantar Linguistik”. Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses. IKIP Ujung Pandang. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Paragraf dan Wacana


PARAGRAF DAN WACANA
A.    PARAGRAF
1.      Pengertian Paragraf
Paragraf terbentuk dari sejumlah kalimat, tetapi merupakan satuan yang lebih besar daripada gugus kalimat. Paragraf sudah mengandung satu keutuhan isi sebagai bagian isi wacana. Karena itu, Pike dan Pike menyatakan pendapatnya bahwa paragraf itu merupakan “the minimum unit in which a theme is developed”. Jumlah kalimat tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk memberikan identitas paragraf. Perhatikan kedua contoh paragraf berikut ini.

Contoh 1 (diambil dari Moelino, dalam Analisis Kebudayaan Tahun I No.3, 1989/1981: 25).

“(1) Di dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia, proses pemungutan ini sudah lama berjalan. (2) Tidaklah mengherankan jika bahasa serumpun, yang jumlah penuturnya tergolong besar, merupakan sumber yang kaya. (3) Karena di dalam masyarakat aneka bahasa, kedwibahasaan bukan sesuatu yang langka, unsur pungutan itu dapat berasal dari penutur yang asli bahasa serumpun dengan penambahan yang spontan. (4) Atau, orang yang bukan penutur asli bahasa serumpun yang terkemuka. Seperti bahasa Jawa (Poedjosoedarmo, 1970) dan Sunda, memungut juga bahasa dari bahasa yang bersangkutan itu dengan pertimbangan bahasa unsur pungutan itu akan segera dipahami oleh kalangan masyarakat yang luas. (5) Berikut ini sekadar beberapa contoh: tanpa, godok, kolot, nyeri, cemoh.”

Contoh 2 (diambil dari Analisis Kebudayaan Tahun 3, 1980/1981: 5).

“(1) Mutu bahasa Indonesia yang digunakan dapat diukur atas dasar ketepatan pilihan kata dan bentuk kata dan bentuk kalimat dengan kesesuaian bentuk-bentuk kata dan bentuk kalimat dengan kaidah bahasa Indonesia baku, dan ketepatan hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang mendahului dan atau mengiringinya. (2) Ketepatan pilihan kata atau bentuk kalimat dapar diukur atas dasar apa kata dan bentuk kalimat yang dipilih itu dengan setepat-tepatnya dapat mengungkapkan pesan atau isi pikiran yang rumit dan hubungan isi pikiran yang abstrak. (3) Saya berpendapat bahwa pada dasarnya bahasa Indonesia adalah bahasa modern yang memiliki sarana yang memungkinkan pengungkapan nuansa makna dan isi pikiran betapapun rumit dan abstraknya. (4) Dengan demikian, pilihan bentuk kata dan bentuk kalimat yang digunakan memang dapat dijadikan ukuran bagi penilaian mutu penggunaan bahasa Indonesia sekarang. (5) Kesesuaian bentuk kata dan bentuk kalimat yang digunakan dengan kaidah bahasa Indonesia baku adalah faktor yang tidak dapat dihindarkan. (6) Bahan dan tulisan yang dipakai untuk naskah daerah tidak berbeda dengan bahan dan tulisan yang dipakai untuk naskah Melayu. (7) Di samping huruf Jawi (Arab-Melayu), Jawa, Batak, Rencong, dan Latin, tetapi juga tulisan bugis dari Makassar.”                                               

Dalam bahasa tulis, paragraf lebih mudah dikenali daripada paragraf dalam bahasa lisan. Ada batas dan penanda visual yang dipakai pegangan. Akan tetapi, dalam bahasa lisan, penanda yang dapat digunakan adalah penanda semantis. Dengan penanda itu, ukuran yang digunakan apakah suatu tuturan menampilkan isi yang diwadahi dalam kalimat topik dan kalimat-kalimat pengembang atau belum. Samsuri (1998) menggunakan istilah Paraton untuk satuan bahasa lisan yang sama dengan paragraf dalam bahasa tulis. Penggunaan istilah yang berbeda itu dapat dipahami karena istilah paragraf mengimplikasikan bentuk visual (graf).
2.      Jenis-jenis Paragraf
a)      Berdasarkan letak kalimat utamanya.
Berdasarkan letak kalimat utamanya, paragraf dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu paragraf deduktif, paragraf induktif, paragraf campuran dan paragraf deskriptif-naratif. Paragraf deduktif dikembangkan dengan kalimat utama di awal paragraf. Paragraf induktif   dikembangkan dengan kalimat utama di akhir paragraf. Paragraf campuran dikembangkan dengan kalimat utama di awal dan di akhir paragraf. Adapun paragraf deskriptif-naratif kalimat utamanya tersebar di keseluruhan kalimat dalam paragraf.
b)      Berdasarkan isi paragraf.
Berdasarkan isinya paragraf dapat dibedakan menjadi lima kelompok antara lain, paragraf deskriptif, paragraf eksposisi, paragraf narasi, paragraf persuasi, dan paragraf argumentasi.
1.      Paragraf deskriptif adalah paragraf yang menggambarkan sesuatu dengan jelas dan terperinci. Paragraf deskriptif bertujuan melukiskan atau memberikan gambaran terhadap sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, membaca atau merasakan hal yang dideskripsikan.
2.      Eksposisi merupakan sebuah paparan atau penjelasan. Jika ada paragraf yang menjawab pertanyaan apakah itu? Bagaimana itu berlangsung? Mengapa itu baik dan bagus? Dari mana asalnya? Paragraf tersebut merupakan sebuah paragraf eksposisi.
3.      Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan atas urutan kejadian atau peristiwa. Narasi dapat bersifat fakta atau fiksi (cerita rekaan). Narasi yang berisi fakta antara lain, biografi dan autobiografi, sedangkan yang berupa fiksi diantaranya novel dan cerpen.
4.      Paragraf persuasi adalah paragraf yang berisi ajakan. Orang atau pembaca yang akan diajak (dipersuasi) melakukan suatu hal, perlu diyakinkan dengan argument atau alasan yang tepat
5.      Paragraf argumentasi adalah paragraf yang bertujuan memengaruhi pembaca agar dapat menerima ide, pendapat atau pernyataan yang dikemukakan penulisnya. Untuk memperkuat ide dan pendapatnya penulis paragraf argumentasi menyertakan data-data pendukung.
B.     WACANA
Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar. Kridalaksana (1983) mengartikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap. Menurut Kridalaksana, dalam hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana itu direalisasikan dalam bentuk karangan utuh, seperti novel, buku, dari ensiklopedia dan sebagainya. Wacana merupakan satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap.
Dari segi bentuk seluruhnya, wacana itu dapat dipilah menjadi dua macam, yakni wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan merupakan wacana yang disampaikan melalui saluran lisan (oral), seperti wacana yang digunakan orator ketika dia berpidato, atau yang digunakan oleh seorang kiyai ketika dia memberi khotbah atau ceramah-ceramah keagamaan.
Wacana tulis merupakan wacana yang direalisasikan melalui saluran tulis. satuan bahasa yang dituangkan dalam surat misalnya, merupakan wacana tulis. Wacana (1) diambil dari kolom Kontak Pembaca Tempo, nomor 2 Tahun XXII 1992 dan wacana (2) dan (3) masing-masing diambil dari kolom Forum Pembaca dan dari redaksi dalam Bola, Nomor 445 Minggu Kedua, November 1992.

(1)   Pamulang Kehilangan Permai
Jika Anda ke Pamulang, Tangerang, tentu Anda akan melihat sederetan truk bermuatan pasir atau batu diparkir di sepanjang jalan komplek pertokoan dan perumahan Pamulang Permai. Truk-truk itu telah membuat kubangan-kubangan panjang atau berlumpur di tepi jalan protokol toko kecil Pamulang itu. Itu terjadi dalam enam bulan terakhir dan sekarang Pamulang Permai telah kehilangan permainya.
Saya yakin, itu bukan kesalahan pada pengemudi truk yang menjadikan tempat itu sebagai terminal bursa pasir dan batu. Soalnya, mereka butuh tempat agar pembeli mudah mencarinya. Dan ternyata tempat itu cocok untuk mereka. Hanya, tidak patut untuk keindahan Pamulang.
Truk-truk itu perlu dilokalisasi. Sebab, tanpa pasir dan batu pembangunan fisik tidak akan pernah jalan. Maka, seyogyanya lokasi areal bursa pasir dan batu dicarikan tempat yang layak dan strategis. Ini tentunya berpulang kepada dan sampai di mana kepedulian serta kepekaan Pemda Kabupaten Tangerang, khususnya aparat Kantor Kecamatan Pamulang
Pamulang, Tangerang, 15417 Jawa Barat.

(2)   Pemerataan di Bola
Dalam setiap kuis berhadiah 5.000 poster lalu, saya selalu mengirimkan jawaban segera, dengan maksud agar bisa menjadi 500 pemenang (pengirirm pertama). Soalnya, saya betul-betul mengharapkan memperoleh poster, terutama idola saya, pembalap Wayne Rainey. Sayang, semua terbatas pada keinginan saja.
Lalu, dalam rubrik ini saya juga kerap mendapatkan keluhan perihal yang sama maupun kuis-kuis lainnya. Malah beberapa pembaca sampai tiga kali, bahkan lebih sebagai pemenang. Karenanya, saya usul pada BOLA untuk menggunakan azas pemerataan. Salah satu caranya yaitu dengan mengelompokkan peserta kuis dari tiap provinsi maupn kota. Dengan begitu pembaca yang sudah bertahun-tahun belum mendapat giliran akan bisa mendapatkan kesempatan.
Muhammad Deni S.
Jl. Arzimar III
RT 01/03
Kel Tegal Gundil

Bogor 16152

(3)   Dari Redaksi
Tinju tetap merupakan salah satu olahraga menarik dengan berjuta penggemar di seluruh dunia. Meskipun tahun ini para petinjunya kalah dalam persaingan memperoleh uang kalah oleh Michael Jordan dari bola basket, menurut majalah Forbes, tetapi pertandingan para petinju tetap saja menarik, apalagi jika menyangkut kelas paling bergengsi yang dipenuhi para bintang, kelas berat. Dengan alasan itu pula, tinju merupakan laporan khusus nomor ini. Tentu dengan halaman depan yang dihias foto depannya juga petinju. Tetapi, tentu dengan isi yang berbeda.
Tinju bagi Bola adalah olah raga yang tidak pernah ditinggalkan. Selama ini tidak kurang dari 10% halaman depan diisi dengan foto tentang tinju baik untuk laporan pertandingan ataupun untuk mengantar menuju suatu pertandingan. Kebetulan juga tinju, sayangnya baru nasional, karena yang internasional kehabisan bintang setelah mundur Ellyas Pical selalu memunculkan bintang, juga hal-hal baru.
Untuk laporan khusus tentang pertarungan Hollivield dan Bowe ini. Selalu komentar tentang keduanya, juga ada pandangan yang dikemukakan tokoh tinju pro Indonesia asal Jawa Timur, Setiadji Laksono. Pengalamannya sebagai petinju, pelatih dan promoter, menjadi jaminan pendapat. Silakan baca di halaman tiga.
Selain lapsus itu, patut juga disimka kolom Rop Hughes di halaman 27. Ia mengulas tentang permainan sepak bola Belanda, Dennis Berg Kemp, yang oleh klubnya, Ajax, ditawarkan dengan harga yang tinggi sekali. Apa sebabnya. Silakan baca halaman itu.




DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaidar. 1987. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Chaedar, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Carrol, John B. 1961. The Study of Language. London: Oxford University Press.
Crystal, David. 1981. Linguistics. Harmonsworth: Penguin Books Ltd.
Kaesng, Sjaruddin. 1982. “Pengantar Linguistik”. Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses. IKIP Ujung Pandang.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.